FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA: Penjelasan Filosofis terhadap beberapa Objek Matematika di Sekolah

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA


 Penjelasan Filosofis terhadap beberapa Objek Matematika di Sekolah

Diajukan kepada Prof. Dr. Marsigit, M. A
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
  

Oleh
Fitria Restu Astuti (19709251069)
Pendidikan Matematika Kelas D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019

Objek dalam pembelajaran matematika terdiri dari guru, siswa, interaksi, kompetensi, outcome dan assessment. Guru dalam pembelajaran matematika diidentikkan dengan kemampuan seorang pengajar untuk memilih dan mengunakan suatu pendekatan atau metode pembelajaran dalam membelajarkan suatu konsep matematika. Salah satu metode yang sudah dan terus dikembangkan saat ini yaitu metode konstruktivisme. Secara filosofis, kontruktivisme mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan saat ini. Dalam pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk meyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, tidak hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru. Aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Sekitar tahun 1985 orang jarang mendengar kata konstruktivisme (Davis, Maher dan Nodding, 1990). Istilah konstruktivisme dikenal mengacu pada teori perkembangan struktur kognitif dari Piaget (English dan Halford, 1995: 11). Dalam perkembangannya konstruktivisme memiliki arti bermacam-macam. Konstruktivisme yang dikenal dari kerja Piaget dinyatakan sebagai pengetahuan konseptual yang tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus dibangun oleh setiap individu berdasar pengalaman mereka sendiri (Nik Pa dalam English dan Halford, 1995: 11). Konstrukivisme menurut von Glasersfeld (von Glasersfeld, 1984) adalah pengetahuan secara aktif yang diterima seseorang melalui indera atau melalui komunikasi atau pengalaman. Orang menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas berbasis pengalaman dan interaksinya dengan lingkungannya. Sementara Fosnot (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) menyatakan bahwa siswa membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme.
Berdasar beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang di kemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka secara individu maupun melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus dan dalam proses itulah keaktifan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
1.           Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2.           Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3.           Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.           Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.           Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
6.           Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).


Ref
Davis, R.B. 1990. Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics Educations. Monograph Number 4. (halaman 93 – 106). The National Council of Teacher of Mathematics.
Doolittle, P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Kirk Swortsel (Ed.): Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1.
English, L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Shanti, W. Nur. 2013. Filsafat Konstruktivisme Dan Penerapannya Dalam Pembelajaran. Diakses pada tanggal 19 November 2019 dari http://widhanurshanti.blogspot.com/2013/01/filsafat-konstruktivisme-dan.html
Steffe, L. P. Eds., (1996), Theories of Mathematics. Aukulad: Penguin Books.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die Erfundene Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line paper, html.

Comments

Popular posts from this blog

Ringgit Wacucal, Sonobudoyo: Wong Jawa Luntur Jawane

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA: Identifikasi Persoalan Filosofis Pembelajaran Matematika di Sekolah